MY LOVE IS JEFRY (PART 1)
MY LOVE IS JEFRY (PART 1)
– CERITA SEX GAY,,,,,,,,
“Waktu akan membawa diri kita pada sebuah kenyataan yang dulunya hanya sebuah angan dalam dimensi fikiran. Waktu akan mengajarkan kita tentang kehidupan hitam dan putih. Dan waktu hanya meninggalkan jejak cerita, lalu jejak itu aku abadikan disini.”
**
“Gimana mie ramenya enak? Kamu tau, ini mie ramen terenak sejakarta. Temen-temenku yang dari luar kota, bahkan rela kejakarta buat nyobain mie ramen disini”
“Yan.. mungkin ini untuk kelimaratus tujuh puluh tujuh kalinya kamu bilang kayak gini sama aku. Kamu udah sering bilang kayak gitu, lagian ini bukan pertama kalinya kan kamu ajak aku makan disini?”
“Oh iya ya..”
Adriyan terlihat salah tingkah, wajahnya memerah, tangan kirinya sibuk menggaruk kepala.
“Makanya jangan kebanyakan ngajak orang.. jadi kebelinger kan?” kataku kembali menimapli pria berkacamata yang duduk dihadapanku saat ini.
“Tapi kayaknya….”
“Becanda…. kamu baru ajak aku malam ini kesini kok?” Kataku memecahkan suasana, lalu aku tertawa sejadinya karena sudah tak mampu menahan tawaku melihat wajah merahnya adriyan. Spontan adriyan yang tak terima melempariku dengan tisu bekas yang sudah membentuk bulatan kearahku, bagai aktor kungfu aku langsung menangkisnya.
“Rese ahh kamu..” Kata adriyan yang kembali menemukan nafasnya setelah dari tadi sepertinya sesak akibat candaanku.
“Loh.. kok rese? Santai aja kali. Kenapa? Jangan-jangan bener ya udah sering ngajak orang kesini?”
“Enggaklah…”
“Hehe, yaudah. Tapi emang orang china itu mukanya merah ya kalo dia merasa gugup?”
“Siapa yang gugup?”
“Tuyul.. ya kamulah”
“Aku gak gugup.. Dan soal muka merah, gak ada kaitanya sama orang china. Mau orang batak, orang jawa dan orang sunda kayak kamu? Setiap orang pasti ada saat dimana wajahnya menjadi merah”
“Oh begitu..”
Adriyan tersenyum, lalu kembali melahap mie ramenya dan meneguk segelas orange juice sampai habis. Tak lama kemudian sebuah panggung kecil yang sedari tadi gelap kini berubah menjadi terang, Bola lampu yang ada disamping dan belakang sudah dinyalakan. Seorang wanita berambut panjang lurus dengan memakai batik moderen baru saja naik keatas panggung. Lampu sorot itu kini padam kembali, hanya satu lampu yang tetap menyala dan kini hanya menyoroti wanita itu. Suasana hening seketika, semua pengunjung cafe seakan penasaran dengan pertunjukan apa yang akan di tampilkan oleh wanita itu. Beberapa detik selanjutnya, seorang pria berdasi kupu-kupu naik ketas panggung lalu menyerahkan sebuah biola pada wanita itu. Setelah menerima biola, wanita itu mulai mengatur posisi biola senyaman mungkin dan ia mulai menggesek biola itu yang kemudian terbentuk dalam sebuah nada lagu cinta sejati, yang dipopulerkan oleh bunga citra lestari.
Selanjutnya, semua pengunjung cafe seakan terhipnotis oleh setiap nada yang dimainkan wanita itu. Setiap nada yang ia gesek begitu menyayat hati. Nada nada itu seakan menyatu dengan hati siapapun yang mendengarnya. Aku sendiri tak mau melewatkan pertunjukan yang menurutku antik dan sangat mahal ini.
Nada-nada itu masih menari nari diudara namun temponya kini melambat, dan semua mata tercengang ketika mendengar suara pria kini menyatu dengan nada itu.
“Aku tak pernah pergi.. selalu ada dihatimu. Kau tak pernah jauh, selalu ada didalam hatiku. Sukmaku berteriak.. mengatakan kucinta padamu. Terima kasih pada, maha cinta menyatukan kita, saat aku tak lagi disisimu. Kutunggu kau dikeabadian”
Yah.. Adriyan kini berada dipanggung itu dan melantunkan lagu cinta sejati yang diiringi oleh suara biola wanita itu. Beberapa pengunjung mengeluarkan ponselnya dan sibuk mengabadikan momen ini. Tapi.. sejak kapan adriyan berada dipanggung ini, kursi dihadapanku saat ini memang sudah kosong. Ahh saking terhipnotisnya kah aku sampai tak sadar diam diam adriyan naik kearea panggung. Aku masih menikmati suara lelaki beramata sipit itu, ya lelaki chinese yang aku kenal sudah hampir dua tahun lamanya. Lelaki dengan suara cempreng jika bicara tapi suara cempreng itu akan berubah menjadi suara emas jika dimainkan kedalam sebuah nada.
**
“Gimana rul suara aku tadi?”
“rul.. bukan lul?” kataku meledek adriyan yang memang tidak bisa mengeja huruf “R”.
“Mulai lagi…”
“Hehe ia becanda. Bagus kok yan, kenapa gak jadi pemain gitar?”
Mata sipitnya yang dari tadi fokus kedepan kini melirik kearahku. Dengan santainya aku hanya nyengir memamerkan gigi putihku yang tersusun rapih. Eentah kenapa berada disamping pria ini selalu membuatku nyaman dan ingin tertawa. Berada disampingnya seakan membuatku lupa akan usiaku yang sudah 23 tahun itu yang kata sebagian orang bukan usia yang muda lagi.
“Kok diem…” Tanya adriyan, kali ini matanya tetap tertuju kedepan tanganya tetap setia berada diatas stir mobil.
“Gak papa… tadi kamu sengaja nyanyi lagu itu buat aku?”
“Pede amat… Cewek tadi itu temenku waktu kuliah dulu. Namanya Alisa, dia memang jago main biolanya. Aku sudah tau setiap minggu malam dia pasti bermain biola dicafe itu. Dan sudah janji juga sih kalo malam ini aku akan nyumbang lagu”
“Oooo. Bagus Kok….”
“Makasih..”
“Pemain biolanya.. hehe”
Spontan tangan kiri adriyan langsung mengacak-ngacak rambutku yang sudah lengket oleh keringat. Tawa kami berdua kemudian pecah didalam mobil sampai tak terasa mobil adriyan ternyata sudah masuk keparikiran sebuah rumah kos kosan yang aku tinggali dijakarta ini. Tapi baru saja aku akan keluar dari dalam mobil adriyan malah menahan tanganku,
“Kenapa yan? Minta cium?”
“Huh kayak mau ngasih aja. Liat itu, bukanya itu anak yang Prakerin ditempat kerja kamu kan?”
Aku sedikit menyondongkan kepalaku, melihat keluar daribalik jendela. Ya disana seorang anak lelaki sedang duduk diteras depan kamarku, didepanya terparkir sebuah motor gede berwarna hijau yang sudah kuhafal itu miliknya.
“Ya.. itu Erfan anak sekolah yang PKL ditempat kerjaku”
“Dia kenapa sih, akhir akhir ini sering banget ke kosan kamu? Jangan bilang kalau dia tahu kamu….”
“Ia.. dia udah tau kalau aku ini..”
“Astaga arul. Kamu bilang sama dia?”
“Ya enggaklah, gila aja. Aku masih waras adriyan.!”
“Lah terus?”
“Gara-gara aplikasi itu..”
“Grindr? Lagian ngapain sih kamu pasang pasang aplikasi kayak gituan? Mana pake foto dan nama asli lagi? Sengaja biar diburu om-om?”
“Jangan asal ngomong deh, aku gak tau kalau ternyata orang terdekat bisa menemukan kita pake aplikasi itu. Tapi sekarang aku udah hapus kok”
“Terus itu anak, malam-malam begini kekosan mau ngapain?”
“Ya mana aku tahu?”
“Yaudah aku ikut turun nyamperin itu anak”
“Yan.. gak usah. Mau ngapain sih, Mending kamu sekarang pulang. Udah malem juga kan. Kamu tenang aja, soal anak itu aku juga gak mungkin macem-macem sama dia”
“Mau macem-macem juga mana aku tahu? Dan gak berhak juga untuk marah”
“Jangan mulai deh. Yaudah ya, Thanks buat malam ini”
Aku turun tanpa memandang kearah Adriyan lagi, aku tak berani apalagi jika aku tatap mata sipit itu. Kedua bola matanya seakan penuh dengan tanda tanya yang seakan mengharuskan aku menjawabnya. Mobil adriyan sudah meninggalkan area parkiran kos-kosanku. Dari jauh bisa kuperhatikan Erfan sedang mengamatiku.
“Dari mana?” Kata Erfan tepat ketika kakiku berhenti dihadapanya. Tubuh cungkring erfan berselimut jas kulit tebal, sepasang erphone yang entah masih mengeluarkan suara musik atau tidak masih terpasang ditelinganya.
“Bukan urusanmu”Jawabku ketus, sambil tangan kiriku merogoh kunci kamarku dikantong celana jeansku.
“Jutek banget..” Sahur erfan sambil membuka erphone-nya lalu diletakan dileher.
“Kamu ada apa malam malam begini kesini? Lihat sekarang jam berapa?”
“Mas Ju…”
“Jangan panggil mas.. saya bukan orang jawa”
“Maksud aku, Kakak juga dari mana malam malam begini baru pulang?”
“Sudah saya katakan. Itu bukan urusan kamu?”
“Yaudah.. aku balik”
Dengan cepat Erfan sudah menunggangi motor gede miliknya dan melaju dengan sangat cepat. Tak sampai satu menit dari Erfan sudah lenyap dari pandanganku.
**
Apa yang terjadi, itulah apa yang kita rasakan, dan apa yang kita rasakan, itulah apa yang kita ketahui. Menurutku itu termasuk kedalam salah satu teori hidup bahkan bisa dibilang sebagai siklus kehidupan. Masih ingat aku? Ya Khairul Farzhamy. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa sudah empat tahun aku mengisi hari hariku tanpa kehadiranya, Ya Dia. Jefry Amrullah. Setiap susunan kata dalam suratnya masih aku ingat dengan jelas, bahkan tersimpan beku dimemoriku. Dalam suratnya dia mengatakan, bahwa dia akan kembali setelah empat tahun. Dan kini empat tahun sudah berlalu, tapi sampai detik ini aku masih belum pernah mendapat kabar darinya, tidak sekalipun. Aku tak tahu, apakah saat ini ia sudah kembali keindonesia atau masih menetap dinegeri jiran sana, aku juga tak tahu apakah namaku masih tersimpan dihatinya, atau masihkah ia mengingatku? Mencintaiku? Atau mengingat janjinya sendiri seperti yang ia tulis disuratnya dulu.? Semua hanya pertanyaan tanpa jawaban. Seperti itulah kehidupanku selama empat tahun ini, hidup dalam sebuah lingkaran yang penuh dengan tanda tanya. Tragis…
Aku baru saja memakai kemeja cokelatku dan memasangkan dasi dileher. Sekilas kupandangi diriku sendiri didepan cermin. Jangan mengira aku akan bertanya pada cermin itu seperti yang dilakukan oleh ibu tiri putri salju. Pertama, dihadapanku saat ini bukanlah sebuah cermin ajaib yang bisa bicara, kedua saat ini aku bukan hidup dalam dongeng yang tak masuk akal dan selalu berakhir indah. Aku saat ini hidup dalam kehidupanku dan menikmati setiap sudut lingkaranku, ya Lingkaran pelangi. Aku lebih senang menamakanya demikian dibanding bilang bahwa aku hidup sebagai Gay atau Homosexual.
Aku masih mengamati perawakanku sendiri dihadapan cermin, tak terasa aku memang sudah tumbuh dewasa, bukan lagi anak sekolahan. Sekarang aku bekerja disalah satu home publishing yang cukup terkenal diibukota. Seminggu setelah kepergian Bang Jefry ke malaysia, sesuai janjiku untuk Almarhum Bapak, aku lantas tinggal disebuah pondok pesantren yang dulu bapak sangat ingin melihatku mondok disana. Setelah lulus, aku mengabdi dipondok satu tahun dan setelah pengabdian selesai aku kembali kepandeglang dengan teori teori baru yang aku pelajari disana. Namun kembali kepandeglang ternyata hanya membuatku terpuruk karena terus mengingat dia, bang jefry.
Dan pria yang bernama Adriyan Fawang Wicaksono, kemudian hadir dalam hidupku. Yang semula ia hanya berbentuk absrak dalam dunia maya, namun ternyata dia bak pangeran dari negeri china setelah aku bertatap langsung dengan dirinya. Dia memang orang asing bagiku, namun karena aku sudah mengenalnya ketika ia berbentuk abstrak, sehingga bukan suatu masalah untuku mengenal sosok gagahnya. Buatku Adriyan Fawang Wicaksono benar benar pangeran sekaligus penyelamat bagiku, setidaknya dia mampu membuatku bangkit dari keterpurukan, dia mampu menghadirkan senyum dari lamunanku akan tentangnya yang jauh disana. Dan dia adalah pria yang perlahan mengubah kehidupanku, karena dia juga saat ini aku sudah bangun pagi untuk bekerja di home publishing milik Karin, sepupunya. Jangan mengira aku dan Adriyan adalah pria yang seumuran, Salah besar. Usia Adriyan empat tahun diatasku. Tapi entah kenapa dia tak suka aku panggil kak, abang, mas atau sebutan lainya yang menandakan bahwa aku menghargainya sebagai lelaki yang lebih tua dariku. Itulah Adriyan Fawang Wicakosono, ditengah perawakanya yang gagah ternyata tersimpang hal-hal aneh yang kadang membuatku nyengir sendiri.
Dua tahun lamanya aku mengenal Adriyan, hampir setiap hari kami bertemu. Walau Adriyan tak bekerja di home publishing milik karin, tapi sampai hari ini Adriyan masih setia mengantar jemputku dengan bmw hitam miliknya. Lalu.. hari dan waktupun menjawab semua teka teki tentang adriyan. Ya mungkin aku yang bodoh dan tak terlalu peka karena baru mengetahui lima bulan yang lalu bahwa adriyan sama sepertiku, hidup dilingkaran pelangi. Awalnya aku tak percaya, tapi itulah kenyataan. Itulah kenapa ia keluar dari dimensi abstraknya. Itulah kenapa dia membawaku kedalam dimensi kehidupanya yang nyata.
Setelah aku tahu semua tentang Adriyan, aku hanya bisa apa? Hanya bisa diam. Bahkan aku tak bisa memenuhi keinginanya. Aku memang bodoh dan terlalu munafik. Adriyan kurang apa? Sebagai lelaki penyuka sesama jenis, jelas aku tak mengelak bahwa sosok adriyan adalah pria yang sangat menawan bahkan mungkin banyak di idolakan oleh wanita dan lelaki sepertiku. Tapi bagaimana mungkin jika hanya mataku yang terpanah akan parasnya? Bohong jika ada yang mengatakan “Cinta itu dari mata lalu turun kehati”. Itu kalimat pembodohan. Mana? Kenapa aku tak merasakan dampak dari kalimat itu? Hatiku tak pernah jatuh cinta pada Adriyan Fawang Wicaksono, hanya mataku.. Ya.. Mataku.
**
“Lama banget sih? Ngapain aja?” Baru saja aku duduk dkursi depan mobilnya, Adriyan sudah nyerocos menyemprotku habis habisan.
“Yaelah.. masih pagi bos. Jangan dilipat itu muka. Lagian aku cuma telat dua atau tiga menit kan dari jam biasanya”
Adriyan langsung melajukan mobil miliknya tanpa bersuara lagi. Beberapa menit mobil yang kami tumpangi sudah masuk kedalam jalan raya.
“Kenapa senyum senyum sendiri?” tanya adriyan yang seperti biasa selalu kepo tentang diriku.
“Gak papa..” kataku, tetap masih dalam keadaan raut wajah tersenyum.
“Udah gak salah nih.. kalo senyum senyum senidiri kayak gini paling mikir jorok. Ia kan?”
“Apaan sih. Enggaklah. Emangnya kamu yang setiap pagi nonton bokep? Hayooo?”
“Kapan? Enggak pernah?” Suara Adriyan terdengar terbata-bata seperti gugup. Aku langsung tertawa karena mendapati raut wajah Adriyan yang memerah. Entah kenapa wajahnya begitu cepat memerah.
“Kemaren, waktu pagi pagi telephone? Aku denger kok ada suara ikeh ikeh.. oh yes.. oh no. Hahahaha”
“Biarin aja.. orang kamunya gak mau ngasih, setiap aku ajak?”
“Yuk sekarang dimobil, biar kayak orang-orang”
“Hmm… Omdo. Omong doang, gak ada bukti”
Aku tersenyum mendengar jawabanya. Ya Adriyan sudah hafal dari setiap kata yang aku lontarkan, aku rasa dia juga sudah bisa membedakan mana ucapan serius atau hanya ucapan candaan.
“Aku itu tadi.. senyum-senyum inget waktu pertama kali naik mobil kamu yan…”
“Ia.. waktu pertama ndeso-ndesonya. Selalu pengen duduk dibelakang, emangnya aku supir apa”
Jawaban Adriyan seakan mengingatkanku kembali pada saat pertama akan masuk kerja di Home Publishing milik karin. Aku diam.. lalu lamunanku kembali pada hari itu.
“Ia Hallo ini siapa?” Kataku ketika menjawab panggilan dipagi itu.
“Memang nomorku gak di save apa? Ini aku Adriyan. Kamu udah siap belum?Kalo udah siap berangkat, cepet keluar. Aku didepan”
“Tutttt…..” Panggilan itu langsur berakhir, aku yang pagi itu sudah siap untuk kerja dihari pertamaku langsung keluar dari sebuah rumah kos kosan yang baru beberapa malam aku tempati. Benar saja, sebuah mobil mewah sudah terparkir disana. Perlahan aku mulai melangkahkan kakiku mendekati mobil itu. Sesampai tepat disamping mobil mewah itu, kaca mobil depan terbuka dengan sendirinya dan menampilkan wajah Adriyan yang sangat berkharisma dengan mata sipit yang dihiasi sebuah kacamata yang ukuran frame nya cukup besar.
“Tunggu apalagi, cepet masuk?”
“Ia bang…”
“Ehh panggil apa barusan?”
“Yan…”
“Bagus..”
“Huft….” aku bernafas lega. Aku lantas membuka pintu belakang mobil mewah itu dan langsung duduk disana, Luar biasa jok nya saja lebih empuk daripada kasur yang ada dikosanku. Tapi Adriyan masih diam tak menjalankan mobilnya, ia malah membalikan wajahnya kearahku. Mata sipitnya ia paksa melototiku yang padahal wajahnya tak ada sangar sangarnya sama sekali.
“Kenapa?” kataku pelan..
“Kenapa duduk disitu?”
“Memang harusnya dimana?”
“Ya didepanlah Khoirul”
“Disini saja mas.. anu yan. Takut gak sopan”
“Kalo kamu duduk disitu, saya lebih tersinggung. Karena itu sama saja kamu melecehkan saya?”
“Hah melecehkan apanya mas? Eh yan. Aku kan gak ngapa ngapain?”
“Ia tapi itu sama saja kamu menganggap saya sebagai sopir pribadi kamu. Faham sekarang?”
“Ohh gitu ya…”
“Ia.. sekarang cepat pindah kedepan?” suaranya setengah berteriak.
“Enggak enak yan.. aku disini saja”
“Okee… kamu boleh duduk disitu, tapi nanti dijalanan saya turunin ya, mau?”
Mendengar kata-katanya aku langsung turun dan segera duduk dikursi yang berada disebelahnya.
“Anak pinter..” sahut adriyan setelah aku menuruti keinginanya.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,